Program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) telah lama menjadi andalan pemerintah Indonesia untuk membantu masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dalam memperoleh rumah. Hal ini mendukung fakta bahwa KPR menjadi pembiayaan paling diminati dengan 69,54% masyarakat memilih KPR sebagai skema pembiayaan properti residensial. Menurut Laporan Analisis Uang Beredar Bank Indonesia pada Maret 2024, total kredit yang disalurkan mencapai Rp7.187,6 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp704,4 triliun dialokasikan untuk kredit terkait KPR dan KPA. Nilai ini terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan penyaluran kredit ini juga sejalan dengan target untuk meningkatkan akses terhadap rumah layak huni sebesar 13,25% hingga mencapai 70%, sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. KPR menawarkan solusi bagi mereka yang tidak mampu membeli rumah secara tunai melalui skema pembayaran angsuran yang lebih terjangkau. Namun, meskipun tampak ideal di permukaan, ada sejumlah permasalahan mendasar dalam sistem KPR yang perlu mendapat perhatian serius. Program yang seharusnya memudahkan akses kepemilikan rumah ini sering kali justru memperlihatkan ketidakadilan dalam implementasinya.
Kebijakan yang Tidak Mencapai Sasaran Utama
Meskipun KPR Subsidi secara eksplisit ditujukan untuk membantu MBR, kenyataannya banyak di antara mereka yang kesulitan memenuhi syarat formal yang ditetapkan. Salah satu kendala utama adalah persyaratan bekerja minimal satu tahun dan memiliki slip gaji. Dalam banyak kasus, masyarakat berpenghasilan rendah bekerja di sektor informal seperti buruh harian atau pedagang kecil yang tidak memiliki penghasilan tetap atau slip gaji resmi. Akibatnya, meskipun mereka sebenarnya memenuhi kriteria ekonomi untuk menerima subsidi, mereka terhalang oleh mekanisme formalitas yang rigid.
Kendala ini menunjukkan bahwa KPR lebih berpihak pada pekerja formal dan mengabaikan realitas mayoritas MBR yang bekerja tanpa kontrak formal. Jika pemerintah serius ingin membantu MBR, diperlukan perombakan sistem yang memungkinkan fleksibilitas bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Misalnya, penerapan kebijakan penilaian yang lebih menyeluruh terkait kemampuan finansial masyarakat daripada semata-mata mengandalkan slip gaji dan status pekerjaan formal.
